A. Hubungan Farmakognosi Dengan Obat
Perkataan Farmakognosi berasal
dari dua kata
Yunani yaitu Pharmakon yang berarti obat dan gnosis yang berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi farmakognosi
berarti pengetahuan tentang obat.
Definisi yang mencakup
seluruh ruang lingkup farmakognosi diberikan oleh Fluckiger, yaitu pengetahuan secara serentak berbagai macam cabang
ilmu pengetahuan untuk memperoleh segala segi yang perlu diketahui tentang
obat.
Ada beberapa definisi tentang obat misalnya :
1.
|
Obat :
|
Yakni suatu bahan atau paduan bahan – bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada
manusia atau hewan, memperelok bagian badan manusia.
|
2.
|
Obat Jadi :
|
Yakni obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk serbuk, cairan,
salep, tablet, pil, suppositoria atau bentuk yang mempunyai nama teknis sesuai dengan Farmakope
Indonesia atau buku- buku lain yang ditetapkan pemerintah .
|
3.
|
Obat Paten :
|
Yakni obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama
si pembuat atau
dikuasakannya dan dijual dalam bungkus
asli dari pabrik yang memproduksinya.
|
4.
|
Obat Baru :
|
Yakni obat yang terdiri dari atau berisi suatu zat baik sebagai
bagian yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, misalnya lapisan, pengisi,
pelarut, bahan pembantu atau komponen lain yang belum dikenal, sehingga tidak
diketahui khasiat atau kemurniannya.
|
5.
|
Obat Tradisional :
|
Adalah bahan atau ramuan
bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik
atau campuran dari bahan- bahan
tersebut, cara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
|
B. Ruang Lingkup Farmakognosi
Farmakognosi adalah sebagai
bagian biofarmasi, biokimia dan
kimia sintesa, sehingga ruang lingkupnya
menjadi luas seperti yang diuraikan
dalam definisi Fluckiger. Sedangkan di Indonesia saat ini untuk
praktikum Farmakognosi hanya meliputi
segi pengamatan makroskopis, mikroskopis dan organoleptis yang seharusnya juga mencakup identifikasi,
isolasi dan pemurnian setiap zat yang
terkandung dalam simplisia dan
bila perlu penyelidikan dilanjutkan ke arah sintesa. Sebagai contoh : Chloramphenicol dapat dibuat secara sintesa
total, yang sebelumnya hanya dapat diperoleh dari biakkan cendawan Streptomyces
venezuela.
Alam memberikan kepada
kita bahan alam darat dan laut berupa tumbuhan, hewan dan mineral yang jika
diadakan identifikasi dan menentukan sistimatikanya, maka diperoleh bahan alam
berkhasiat obat. Jika bahan alam yang berkhasiat obat ini dikoleksi,
dikeringkan, diolah, diawetkan dan disimpan, akan diperoleh bahan yang siap
pakai atau simplisia, disinilah keterkaitannya dengan farmakognosi.
Simplisia yang diperoleh
dapat berupa rajangan atau serbuk. Jika dilakukan uji khasiat, diadakan
pengujian toksisitas, uji pra klinik dan uji klinik untuk menentukan
fitofarmaka atau fitomedisin ; bahan – bahan fitofarmaka inilah yang disebut
obat. Bila dilakukan uji klinik, maka akan diperoleh obat jadi.
Serbuk dari simplisia
jika diekstraksi dengan menggunakan berbagai macam metode ekstraksi dengan
pemilihan pelarut , maka hasilnya disebut ekstrak. Apabila ekstrak yang
diperoleh ini diisolasi dengan pemisahan berbagai kromatografi, maka hasilnya
disebut isolat.
Jika isolat ini
dimurnikan, kemudian ditentukan sifat – sifat fisika dan kimiawinya akan dihasilkan
zat murni, yang selanjutnya dapat dilanjutkan penelitian tentang identifikasi,
karakterisasi, elusidasi struktur dan spektrofotometri.
Proses ekstraksi dari
serbuk sampai diperoleh isolat bahan obat dibicarakan dalam fitokimia dan
analisis fitokimia. Bahan obat jika diadakan uji toksisitas dan uji pra klinik
akan didapatkan obat jadi. Mulai dari bahan obat sampat didapatnya obat jadi
dapat diuraikan dalam skema berikut :
C. Hubungan Farmakognosi Dengan
Botani - Zoologi
Simplisia harus mempunyai identitas
botani – zoologi yang pasti, artinya harus diketahui dengan tepat nama latin
tanaman atau hewan dari mana simplisia
tersebut diperoleh, misalnya : menurut Farmakope Indonesia ditentukan bahwa
untuk Kulit Kina harus diambil dari tanaman asal Cinchona succirubra,
sedangkan jenis kina terdapat banyak sekali , yang tidak mempunyai kadar kina
yang tinggi. Atas dasar pentingnya identitas botani – zoologi maka nama –nama
tanaman atau hewan dalam Farmakope
selalu disebut nama latin dan tidak dengan nama daerah, karena satu nama daerah
seringkali berlaku untuk lebih dari satu
macam tanaman sehingga dengan demikian
nama daerah tidak selalu memberikan kepastian identitas. Dengan demikian
menetapkan identitas botani – zoologi secara tepat adalah langkah pertama yang
harus ditempuh sebelum melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya dalam bidang farmakognosi.
D. Hubungan Farmakognosi Dengan
Ilmu – Ilmu Lain
Sebelum kimia organik dikenal, simplisia merupakan bahan utama yang harus
tersedia di tempat meramu atau meracik obat dan
umumnya diramu atau diracik
sendiri oleh tabib yang memeriksa sipenderita, sehingga dengan cara tersebut
Farmakognosi dianggap sebagai bagian
dari Materia Medika. Simplisia diapotik kemudian terdesak oleh perkembangan
galenika, sehingga persediaan simplisia di apotik digantikan dengan sediaan –
sediaan galenik yaitu, tingtur, ekstrak,
anggur dan lain – lain.
Kemudian setelah kimia
organik berkembang, menyebabkan makin
terdesaknya kedudukan simplisia
di apotik - apotik. Tetapi hal ini bukan berarti simplisia tidak
diperlukan lagi, hanya tempatnya tergeser ke pabrik - pabrik farmasi,
Tanpa adanya simplisia di apotik tidak akan
terdapat sediaan-sediaan galenik, zat kimia
murni maupun sediaan bentuk lainnya, misalnya: serbuk, tablet, ampul,
contohnya: Injeksi Kinin Antipirin, Secara sepintas Kinina antipirin
dibuat
secara sintetis tetapi dari sediaan tersebut hanya Antipirin saja yang
dibuat sintetis sedangkan kinina hanya dapat diperoleh jika
ada Kulit Kina, sedangkan untuk mendapatkan kulit kina yang akan
ditebang atau dikuliti adalah dari jenis
Cinchona yang dikehendaki. Untuk memperoleh jenis Cinchona yang
dikehendaki
tidak mungkin diambil dari jenis Cinchona yang
tumbuh liar, sehingga harus ada cara pengumpulan dan perkebunan yang
baik dan terpelihara. Dalam perkebunan ini farmakognosi erat hubungannya
dengan
ilmu-ilmu lain misalnya: Biokimia, dalam pembuatan zat-zat sintetis
seperti
Kortison, Hidrokortison dan lain - lainnya.
Dari
contoh - contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup Farmakognosi tidak terbatas pada
pengetahuan tentang simplisia yang tertera dalam Farmakope, tetapi meliputi
pemanfaatan alam nabati- hewani dan
mineral dalam berbagai aspeknya di
bidang farmasi dan Kesehatan.
E. Sejarah Dan Perkembangan Farmakognosi
Pada kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi, penggunaan tanaman obat sudah
dilakukan orang, hal ini dapat diketahui dari lempeng tanah liat
yang tersimpan di Perpustakaan Ashurbanipal di Assiria, yang memuat simplisia antara lain kulit
delima, opium, adas manis, madu, ragi, minyak jarak. Juga orang Yunani
kuno misalnya Hippocrates
(1446 sebelum masehi), seorang tabib telah mengenal kayu manis,
hiosiamina, gentiana, kelembak, gom arab, bunga kantil dan lainnya.
Pada tahun 1737 Linnaeus,
seorang ahli botani Swedia, menul “Genera
Plantarum” yang kemudian merupakan buku pedoman utama dari sistematik
botani, sedangkan farmakognosi modern mulai dirintis oleh Martiuss. Seorang apoteker Jerman dalam bukunya “Grundriss Der Pharmakognosie Des
Planzenreisches” telah
menggolongkan simplisia menurut segi morfologi, cara- cara untuk mengetahui kemurnian simplisia.
Farmakognosi mulai berkembang
pesat setelah pertengahan abad ke 19 dan masih terbatas pada uraian makroskopis
dan mikroskopis. Dan sampai dewasa ini
perkembangannya sudah sampai ke usaha- usaha isolasi, identifikasi dan
juga teknik-teknik kromatografi untuk tujuan analisa kualitatif dan kuantitatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar